Minggu, 16 Mei 2010

resume PTK

Nama : Ati Susilawati
SMP Daarul Falaah

Penelitian Tindakan Kelas (PTK)/Classroom Action Research (CAR)
A. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
• Penelitian yaitu kegiatan mencermati suatu objek yang bermanfaat melalui metode ilmiah.
• Tindakan yaitu suatu kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu melalui rangkaian siklus.
• Kelas yaitu sekelompok peserta didik dalam waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari seorang guru kelas bukan wujud “ruangan tempet guru mengajar.”
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian reflektif yang dilaksanakan secara siklis (berdaur) oleh guru atau dosen.
B. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
1. Berawal dari kerisauan kinerja guru.
2. Tujuan memperbaiki pembelajaran.
3. Self Reflective Inquiri (refleksi diri, agak longgar, tetapi sesuai kaidah penelitian)
4. Ingin mengetahui akibat dari tindakan/sesuatu yang dilakukan.
5. Fokus penelitian pada Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
6. Melakukan tindakan lanjutan sebagai akibat tindakan sebelumnya.
7. Otonomi menilai kinerja (mampu meneliti)
8. Situasional.
9. Kontekstual.
10. Kolaboratif dan partisipatif.
11. Self evaluation: evaluasi secara kontinu untuk perbaikan.
12. Fleksibel dan adaptif.
13. Memanfaatkan data pengamatan dari perilaku empiric.
14. Situasional spesifik (tidak digeneralisasi)
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah karya tulis ilmiah (metode ilmiah/metode keilmuan) dengan ciri-ciri:
• Argumentasi teoritik (shahih dan relevan)
• Fakta empirik
• Analisis kajian (permasalahan)
Penemuan, penelitian (research), peningkatan, pengembangan (development) dan memperbaiki evaluasi (evaluation).


C. Prinsip Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
1. Pelaksanaan penelitian tindakan tidak mengganggu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
2. Metodologinya harus reliabel, artinya terencana dengan cermat sehingga tindakan dapat dirumuskan dalam suatu hipotesis tindakan yang dapat diuji.
3. Permasalahannya harus menarik, nyata, tidak menyulitkan, dapat dipecahkan, berada dalam jangkauan peneliti untuk melakukan perubahan.
4. Pengumpulan data tidak menyita waktu terlalu banyak.
5. Memperhatihan etika penelitian dengan rambu-rambu yang berlaku umum.
6. Penelitiannya berkelanjutan (on going)
7. Dapat dilakukan sambil melaksanakan pembelajaran demi peningkatan pembelajaran.
8. Merupakan upaya memecahkan masalah, sekaligus mencari dukungan ilmiahnya.
9. Suatu pencermatan terhadap kegiatan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas.
10. Dapat dilakukan oleh guru di kelas atau di sekolah tempat ia mengajar dengan penekanan penyempurnaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
11. Dapat dilakukan oleh pihak pengelola sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan untuk meningkatkan kinerja, proses, dan produktivitas lembaga.
D. Tujuan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.
E. Manfaat Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Manfaat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) agar tenaga kependidikan dapat memperbaiki mutu kinerja secara professional, yaitu dapat meningkatkan kompetensi dalam mengatasi masalah pembelajaran (memberdayakan guru dalam mengambil prakarsa yang semakin mandiri).
F. Model Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
a. Model Kurt Lewin
1) Perencanaan (Planning),
2) Tindakan (Acting),
3) Pengamatan (Observing), dan
4) Refleksi (Reflecting).
b. Model Kemmis dan Mc.Taggart
Tahapan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Kemmis dan Taggart)
1) Menyusun rancangan tindakan (Perencanaan),
2) Pelaksanaan tindakan,
3) Observasi/pengamatan,
4) Refleksi/pantulan
G. Objek/Sasaran/Bidang Kajian Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
a. Masalah belajar siswa di sekolah.
b. Desain dan strategis pembelajaran di kelas.
c. Masalah kurikulum.
d. Alat bantu, media, dan sumber belajar.
e. Sistem assesment dan evaluasi proses dan hasil pembelajaran.
f. Unsur lingkungan.
g. Unsur pengelolaan.
h. Pengembangan pribadi peserta didik dan tenaga kependidikan.
H. Proposal (Usulan) Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
a. Proposal penelitian = desain (design) penelitian = usulan penelitian: rencana tertulis.
b. Masih merupakan rancangan atau ancar-ancar kegiatan penelitian yang bersifat tentatif.
c. Berisi sistematika rencana penelitian yang akan dilakukan.
d. Gambaran, “cermin” kualitas penelitian.
e. Jalan pikiran tertulis dan langkah-langkah rencana penelitian.


















CASE STUDY
Dalam dunia pendidikan ada dua jenis Case Study.
Jenis 1: Case Study sebagai jenis penelitian
Ciri khas utama: penelitian terinci tentang masalah tertentu untuk membantu pemahaman tentang masalah tersebut melalui ‘deskripsi tebal’ masalah dan konteksnya yang diteliti (Keith Tabor, 2006).
Jenis 2: Case Study sebagai alat pengembangan profesi guru
Ciri khas utama: pengkajian oleh pengajar tentang pengalaman pengajaran yang dialami dengan tujuan mengidentifikasi masalah untuk diperbaiki (J.Shulman, ….)
Perbedaan dan Karakteristik Case Study jenis 1 dan jenis 2
Jenis Penulis Tujuan Fokus Case Study Proses Penelitian
Jenis 1: Case Study sebagai jenis penelitian peneliti Memperluas pemahaman tentang fenomena tertentu Masalah yang dikaji oleh peneliti Mengikuti desain dan metodologi penelitian yang ketat
Jenis 2: Case Study sebagai alat pengembangan profesi guru peserta Guru peserta yang pengajarannya dikaji Mengenali dan memperbaiki masalah yang ditemukan Masalah yang merisaukan pikiran dan perasaan pengajar Proses mencakup narasi si pengajar tentang pengalaman, komentar dari pengamat dan lembar kerja siswa, yang direnungkan dan ungkapkan dalam refleksi guru peserta

Sifat Narasi Pengalaman Mengajar
Narasi Case Study adalah episode yang diingat, ditulis sebagai sebuah cerita, sebuah naratif. Hal ini harus sangat khusus, sangat bersifat lokal. Harus menyertakan unsur manusia: minat guru, aksi dan kesalahan, frustasi, dan kesenangan atau kekecewaan yang dirasakan pada akhir sesi. William Louden, “Case Study in Teacher Educational” (1995)
Petunjuk Untuk Penulisan Case Study
1. Case Study harus mendeskripsikan kejadian yang riil. Case Study bukan dongeng yang memperagakan perilaku atau hasil yang ideal. Penulis perlu jujur.
2. Ditulis dengan gaya informal dan alami sehingga mudah menarik rasa empati dari para pendengar untuk si penulis.
3. Narasi kegiatan pembelajaran perlu dibuat/ditulis lengkap sehingga pengalaman bisa dibayangkan oleh pembaca.
4. Sangat faktual dan kontekstual: nama siswa ada, kata riil dari siswa kalau diingat.
5. Perlu ada problematika yang didalamnya dibentangkan hal yang dirasakan oleh guru pengajar dan yang membuka interpretasi yang bervariasi pada saat diskusi tentang masalah inti, sehingga semua peserta tertarik untuk mengikutinya.
6. Perlu mencari tahu tentang masalah yang ada didalamnya dan mempertanyakan tentang solusi.
Lesson Study
1. Latar belakang lesson study ada dua macam yaitu:
• Pelatihan seringkali tidak berbasis pada masalah nyata yang timbul di dalam kelas.materi pelatihan yang sama disampaikan kepada semua guru tanpa mengenal daerah asal, kadang-kadang pelatihan menggunakan literatur asing yang tidak dimengerti dan tanpa melakukan uji coba terlebih dahulu mengenai kondisi Indonesia.
• Hasil pelatihan hanya menjadi pengetahuan saja, tidak diterapkan pada pembelajaran di kelas atau kalaupun diterapkan hanya sekali saja, dua kali selanjutnya kembali seperti semula yang disebabkan karena tidak ada kegiatan monitoring pasca pelatihan.
2. Pengertian Lesson study
Lesson study adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun learning community. Lesson study bukan suatu metode atau strategi pembelajaran tetapi kegiatan lesson study dapat menerapkan berbagai metode/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru.
3. Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan lesson study ada tiga yaitu:
• Merencanakan (Plan)
• Melaksanakan (Do)
• Merefleksi (See)
4. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan, pelaksanaan dan refleksi lesson study
• Tahap perencanaan (Plan) bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa dan berpusat pada siswa dengan maksud agar siswa berpartisipasi aktif dalam Kegiatan pembelajaran. Perencanaan dikerjakan bersama oleh beberapa guru atau guru dapat berkolaborasi dengan dosen suatu LPTK dan widyaiswara LPMP. Perencanaan diawali dari analisis permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran. Selanjutnya guru bersama-sama mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi yang dituangkan dalam rancangan pembelajaran (lesson plan) dan media pembelajaran serta metode evaluasi. Kegiatan tersebut memerlukan beberapa kali mpertemuan agar lebih mantap dan terbentuk mutual learning (saling belajar).
• Tahap pelaksanaan (Do) pembelajaran untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam rancangan pembelajaran yang bertujuan untuk menguji coba efektifitas pembelajaran yang telah dirancang selama pembelajaran berlangsung hanya difokuskan untuk mengamati efektifitas siswa yakni pada interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan bahan ajar, dan siswa dengan lingkungan. Lembar observasi pembelajaran perlu dimiliki oleh para pengamat sebelum pembelajaran dimulai. Selama pengamatan berlangsung, observer boleh melakukan perekaman kegiatan pembelajaran melalui video kamera atau foto digital untuk kepentingan dokumentasi dan bahan study lebih lanjut.
• Pada tahapan refleksi, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
 Fasilitator memperkenalkan peserta refleksi
 Fasilitator menyampaikan agenda Kegiatan refleksi dan mengajukan aturan-aturan diantaranya: selama diskusi hanya satu orang yang berbicara, peserta diskusi memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara, pada saat mengajukan pendapat harus disertai bukti-bukti pengamatan.
 Focus observasi yang diungkap adalah: kapan siswa mulai belajar, mulai bosan belajar, apa yang didapatkan siswa dari pembelajaran.
5. Sejarah lesson study
Lesson study berkembang di Jepang sejak tahun 1900-an. Lesson study merupakan terjemahan langsung dari Bahasa Jepang Jugyeknkyu, yang berasal dari kata jugyo yang berarti lesson atau pembelajaran, dan kenkyu yang berarti study atau penelitian atau pengkajian terhadap pembelajaran. Lesson study yang sangat popular di Jepang adalah Lesson study yang diselenggarakan oleh suatu sekolah yang dikenal dengan konaikenshu yang berkembang sejak tahun 1960-an. Konaikenshu juga terbentuk dari dua kata yaitu konai yang berarti di sekolah, dan kenshu yang berarti pelatihan. Jadi, istilah konaikenshu berarti school-based in- servicetraining atau inservice education within the school atau in house workshop. Pada tahun 1970-an pemerintah merasakan manfaatnya dari konaikenshu dan sejak itu pemerintah Jepang mendorong sekolah-sekolah untuk melaksanakannya dalam meningkatkan keseriusan, intensitas, dan tanggung jawab guru selaku profesional. Hal itu kemudian meningkatkan mutu sekolah.
6. Lesson study dilakukan oleh semua guru dari berbagai bidang studi di sekolah bersama kepala sekolah dan guru. dalam pelaksanaannya, lesson study dimungkinkan untuk melibatkan pihak luar misalnya dosen dan widyaiswara. Lesson study juga bisa dilaksanakan dengan berbasis MGMP (bidang studi). Dengan demikian Lesson study tipe ini anggota komunitasnya bisa mencakup satu wilayah (misalnya satu wilayah MGMP), satu kabupaten, atau lebih luas lagi.
7. Tindak lanjut dari kegiatan lesson study yaitu munculnya ide-ide pengembangan pendidikan yang inovatif, dengan demikian jika lesson study yang dilakukan benar-benar dipersiapkan dengan baik sehingga setiap guru merasa memperoleh pengetahuan yang sangat berharga. Maka disadari ataupun tidak, tindak lanjut dari kegiatan tersebut akan terjadi dengan sendirinya baik itu berlangsung pada tataran individu, kelompok,atau system tertentu.

artikel

Nama: Ati Susilawati
SMP Daarul Falaah

Peran Pembelajaran CTL dalam
Mengimplementasikan Pembelajaran Interaktif
Oleh : Dr. H. Endang Komara, M.Si
(Lektor Kepala dan Pembantu Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan Cimahi)
(Sumber : Suara Daerah majalah pendidikan Jawa Barat –Bandung Nomor 420-April 2006)

A. Abstrak
Contextual teaching and learning (CTL) dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang berpandangan bahwa hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, karena belajar bukanlah sekedar mennghapal akan tetapi mengonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pembelajaran interaktif memiliki dua karakteristik yaitu pertama proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secar maksimal. Kedua, dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus.

B. Pendahuluan
Contextual teaching and learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari konsep tersebut minimal ada tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara metri yang dipelajari dengan situasi kehidupan yang nyata. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti yang dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya, M.Pd (2005:110), sebagai berikut:
1. Activtinging knowledge (pengaktifan pengetahuan)
2. Acquiring knowledge (memperoleh dan menambah pengetahuan baru)
3. Understanding knowledge (pemahaman pengatahuan)
4. Applying knowledge (mempraktekan pengetahuan dan pengalaman)
5. Reflecting knowledge (melakukan refleksi)
Pembelajaran interaktif memiliki dua karakteristik seperti dijelaskan oleh Dr. H. Syaiful Sagala,M.Pd.(2003:63) yaitu :
1. Proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berfikir.
2. Dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses Tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berpikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Pembelajaran interaktif menurut Dimyati dan Mudjiono (1999 : 297) adalah Kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pemebelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi.
Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berfikir siswa dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru. Pendapat ini sejalan dengan Jerome Bruner (1960) mengatakn bahwa : “ perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang akan menjelaskan efektif di kelas”. Selanjutnya menurut Bruner teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu preskriptif.
Hal ini menggambarkan bahwa orang yang berpengetahuan adalah orang terampil memecahkan masalah, mampu berinteraksi dengan lingkungannya dalam menguji hipotesis dan menarik generalisasi dengan benar. Jadi belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun kemampuan berfikir dan kemampuan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan itu sumbernya dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan tidak diperoleh dengan cara diberikan atau ditransfer dari orang lain, tetapi “dibentuk dan dikonstruksi” oleh individu itu sendiri, sehingga siswa itu mampu mengembangkan intelektualnya.


Proses pembelajaran atau pengajaran (classroom teaching) menurut Dunkin dan Biddle (1974 : 38) berada pada empat variabel iteraksi yaitu :
1. Variable pertanda (pesage variables) berupa pendidik
2. Variable conteks (context variables) berupa peserta didik, sekolah dan masyarkat
3. Variable proses ( process variables) berupa interaksi peserta didik dengan pendidik
4. Variable produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dunkin dan Biddle selanjutnya mengatakan proses pembelajaran akan berlangsunng dengan baik jika pandidik mempunyai dua kompetensi utama yaitu:
1. Kompetensi substansi materi pembelajaran atau penguasaan materi pelajaran
2. Kompetensi metodolgi pembelajaran.
Artinya jika guru menguasai materi pelajaran, diharuskan juga menguasai metode pengajaran sesuai kebutuhan materi ajar yang menngacu pada prinsip pedagogic, yaitu memahami karakteristik peserta didik. Jika metode dalam pembelajaran tidak dikuasai, maka penyampaian materi ajar menjadi tidak maksimal. Metode yang digunakan sebagai strategi yang dapat memudahkan peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru. Hal ini menggambarkan bahwa pembelajaran terus mengalami perkembangan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu dalam merespon perkembangan tersebut, tentu tidaklah memadai kalau sumber belajar berasal dari guru dan media teks buku belaka. Dirasakan perlu ada cara baru dalam mengkomunikasikan ilmu pengetahuan atau materi ajar dalam pembelajaran baik dalam sistem yang mandiri maupun sistem yang terstruktur.
Menurut Knirk dan Gustafson (1986 : 15) pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melaui tahap rancangan, pelaksanaan dan valuasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan perancangan pembelajaran. Selanjutnya Knirk dan Gustafson (1986 : 18) mengemukakan teknologi pembelajaran melibatkan tiga komponen utama yang saling berinteraksi yaitu guru (pendidik), siswa (peserta didik), dan kurikulum. Komponen tersebut melengkapi struktur dan lingkungan belajar formal.

C. Pembahasan
Sesuai dengan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akkan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan Respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman.
Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar delam konteks CTL menurut Sanjaya (2005: 114) antara lain :
a. Belajar bukanlah menghapal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pengetahuan yang mereka peroleh.
b. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berfikir.
c. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan maslah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak mennghadapi persoalan.
d. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.
e. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real World Learning).
Selanjutnya Sanjaya (2005: 115) memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain
1) CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pembelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
2) Dalam pembelajaran CTL siswa belajar melalui Kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan member. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.
3) Dalam CTL, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata yang riil; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak.
4) Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan.
5) Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka.
6) Dalam CTL, tindakan atau prilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa prilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perlaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman, atau sekedar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.
7) Dalam CTL, pengetahun yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya. Oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolute dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
8) Dalam pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
9) Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan settting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
10) Oleh karena tujuan yang ingin dicapai oleh seluruh aspek perkembangan siswa,, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya diukur dari tes.
Berdasarkan perbedaan pokok tersebut di atas, saya membenarkan tentang kajian mengenai pembelajaran contextual teaching learning (CTL) tersebut sebagaimana pendapat menurut Paulo Freire (Sanjaya, 2005: 116-117) bahwa CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran tidak ubahnnya sebagai proses pemaksaan kehendak, atau disebut system penindasan.

D. Kesimpulan
Pembelajaran CTL (Contextual teaching and learning) adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan dirasa manfaat dari materi yang akan disajikan motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif-nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat sebagimana ciri-ciri dari pembelajaran konvensional , dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

E. Saran
Demikianlah kajian kritis ini saya sampaikan dalam rangka pentingnya usaha guru menyikapi dan mengimplementasikan pembelajaran CTL (Contextual Teaching Learning) di dalam Kegiatan belajar mengajar, semoga kajian kritis ini bermanfaat. Agar kedepan mutu pendidikan bisa lebih maju dan meningkat.

Ati

PTK